Ki Hadjar Dewantara - Sumber: kompas.com
Terlahir
di keluarga bangsawan, tepatnya putra GPH Soerjaningrat dan cucu Pakualam III,
R. Soewardi Soerjaningrat tak kesulitan meretas pendidikan. Bermula dari Eerste
Lagere School (ELS), ia lantas diterima belajar di School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen (STOVIA), sekolah dokter Bumiputera. Namun, ia urung lulus dan
menjadi dokter karena sakit.
Soewardi
lantas berkiprah di dunia jurnalistik. Sediotomo, Midden Java, De Expres,
Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara adalah beberapa media
yang pernah menjadi pelabuhan kariernya. Pada saat yang bersamaan, ia pun
berkiprah di dunia politik. Sempat bergabung dengan Boedi Oetomo, ia bersama
Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo lantas mendirikan Indische Partij
pada 25 Desember 1912.
Karena
penanya yang tajam dan kiprah politiknya, pria yang memutuskan menanggalkan
gelar kebangsawanannya dengan mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara pada
umur 40 tahun tersebut dimusuhi pemerintah kolonial Belanda. Bersama dua
sahabatnya sesama pendiri Indische Partij, Ki Hadjar dijatuhi hukuman tanpa
proses pengadilan. Mereka harus menjalani masa pembuangan.
Atas
hukuman itu, ketiganya mengajukan permohonan untuk dibuang ke Belanda, bukan
tempat terpencil di negeri sendiri. Pada 1913, pemerintah kolonial Belanda
menyetujui hal itu. Selama lima tahun, Ki Hadjar menjalani masa pembuangan di
Negeri Kincir Angin. Kesempatan itu digunakan untuk mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran hingga akhirnya Ki Hadjar mendapatkan Europeesche
Akte yang memungkinkannya mendirikan lembaga pendidikan.
Itulah
titik balik perjuangan Ki Hadjar. Sepulang ke tanah air, dia mendirikan
Perguruan Taman Siswa pada 1922. Perjuangan penanya pun bergeser dari masalah
politik ke pendidikan. Tulisantulisan itulah yang lantas menjadi dasar-dasar
pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Saat Indonesia merdeka, ia pun
dipercaya menjabat Menteri pendidikan dan pengajaran.
Berkat
perjuangan dan komitmennya terhadap pendidikan, Ki Hadjar mendapat gelar doktor
honoris causa dari Universitas Gajah Mada pada 1957. Dua tahun berselang,
tepatnya 28 April 1959, Ki Hadjar meninggal dunia dan dimakamkan di Yogyakarta.
Bagi
seorang petinggi negeri, kenikmatan duniawi bukanlah hal yang sukar untuk
dirasakan dan didapatkan. Pesta besar usai pelantikan sebagai pejabat adalah
hal lumrah dengan dalih sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas kepercayaan
yang diembankan. Namun, hal itu tak berlaku bagi Ki Hadjar Dewantara.
Setelah
ditetapkan menjadi orang pertama yang menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran,
dan Kebudayaan Republik Indonesia, Ki Hadjar pulang larut malam. Tak ada pesta
atau makan besar istimewa yang menyambut kedatangannya. Bahkan sekadar
lauk-pauk pun tak tersedia di meja makan. Nyi Hadjar lantas menyuruh salah satu
anak mereka untuk membeli mi godhok (rebus) di pinggir jalan. Makan malam
dengan menu serantang mi rebus untuk sekeluarga pun jadilah.
Bagi
Ki Hadjar, itu bukan masalah besar. Meski berasal dari keluarga bangsawan,
kesederhanaan memang telah menjadi bagian dari sikap hidupnya. Kesederhanaan
inilah yang membuat Ki Hadjar tak silau memandang dunia walaupun jabatan prestisius
disandangnya.
Seperti
terpampang di Museum Sumpah Pemuda, Ki Hadjar pernah berujar, “Aku hanya orang
biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia, dengan cara Indonesia. Namun, yang
penting untuk kalian yakini, sesaat pun aku tak pernah mengkhianati tanah air
dan bangsaku, lahir maupun batin aku tak pernah mengorup kekayaan negara. Aku
bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkan langkah perjuanganku.”
Sumber: Orange Juice For Integrity (2014). Belajar
Integritas kepada Tokoh Bangsa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hal. 39-41.
Baca Juga: