“Seperti kupu-kupu keluar dari kepompong,
selangkah demi selangkah aku memahami segalanya.”
(Umberto Eco)
Bacalah!
Bayangkanlah seorang lelaki mulia yang sedang mencari jawaban atas masalah masyarakatnya tiba-tiba mendengar perintah: bacalah! Tentu saja lelaki ini sedang membaca banyak hal, terutama fenomena masyarakatnya yang aneh. Satu sisi masyarakatnya memiliki prinsip muru’ah, kehormatan bersama seperti kemurahhatian harus dijunjung tinggi lebih dari apapun, sisi lain mereka gampang marah dan gemar berperang pada hal-hal sepele. Sebabnya adalah muru’ah hanya terbatas pada kami (terbatas pada suku atau keluarga besar) dan tak diluaskan di wilayah “kita” (semua ummat manusia).
Bacalah!
Kalimat itu kembali berkumandang, mungkin berdengung berulangkali pada telinganya. Ia tentu terus-menerus membaca, karena itulah ia habiskan waktu dan hartanya untuk merenung di gua Hira, bertahanuts. Ia duduk di ketinggian gua sempit itu, memandang kota kelahirannya, kerlip lampunya, sambil membayangkan kekonyolan sanak saudara dan keluarganya. Mereka sangat yakin akan adanya Yang Lebih Berkuasa ketimbang apapun, karena itu mereka selalu melakukan ritual untuk meminta berkah atau keselamatan pada Yang Lebih Berkuasa itu. Konyolnya mereka menganggap tuhan seperti centeng yang menjamin satu kelompok seraya bersaing dengan centeng lain penjamin kelompok lain.
Bacalah!
Ya tentu saja.
Atas nama Rabbmu yang menciptakan, pencipta manusia dari selendir darah.
Membaca tak sekadar membaca, rupanya begitu maksud seruan itu. Membaca harus berdasar niat. Dan niat adalah pendorong dan pembatas suatu tindakan, sekaligus juga cara pandang terhadap apa yang akan dilakukan. Bila saya berniat untuk memuaskan rasa dahaga, niat itu akan mendorong saya untuk mencari air di manapun adanya sekaligus juga membatasi saya untuk mencari hal lain selain pemuas dahaga. Niat memuaskan dahaga juga membimbing saya untuk menilai mana yang penting dan tidak penting.
Saat membaca, niat itu pun harus ada. Niat itu haruslah atas nama dengan nama Rabb yang mencipta segala sesuatu. Segala sesuatu, kemajemukan semesta yang begitu rumit juga kekhasan watak manusia yang tak pernah tertebak, harus dipahami sebagai ciptaan dari Rabb ini, bukan yang lain. Bila semuanya dari Rabb yang sama, maka semuanya pasti memiliki keteraturan (karena Rabb dapat berarti pengatur); bila semuanya dari Rabb yang sama, maka semuanya tergelar untuk tujuan tertentu (Rabb adalah pendidik).
Dengan nama Rabb, maka daun kering yang terjatuh bukanlah sekadar ketuaan yang tak bisa menahan diri untuk terus menggantungkan diri; ada Rabb di sana. Dengan nama Rabb, kekacauan masyarakat bukan sekadar pancingan untuk merasa kesal dan marah: ada undangan Rabb di sana. Dengan nama Rabb, membaca menemukan kepastian sekaligus ketidakpastian. Kepastian bahwa segala sesuatunya bersumber, diatur, dan diarahkan dari/oleh Yang Satu. Ketidakpastian karena Rabb tak pernah nampak langsung, ia seperti “bersembunyi” di balik segala sesuatu itu.
Rabbmu itu, menciptakan manusia (seperti kamu) dari selendir darah.
Al-‘Alaq adalah darah yang sangat kecil seperti lendir yang menggantung pada rahim. Selendir darah itu tentu tak punya kuasa untuk berjalan, memegang, tersenyum, mengerdip, apalagi merasa resah atas persoalan. Namun dari selendir darah itu ia menjelma menjadi manusia yang dapat melakukan apapun, yang dapat menguasa semesta. Begitu berkuasanya Rabb yang dapat menciptakan dari yang pasif menjadi aktif, dari yang sekadar potensi menjadi actual. Segala sesuatu, sepasif apapun, memiliki potensi untuk melebihi kondisinya menjadi aktif bahkan menjadi asisten Rabb itu.
Pada diri manusia yang gampang bertanya, menyalahkan, bahkan tak percaya ini rupanya ada tanda kuasa Rabb dalam penciptaan.
Kemudian lelaki mulia itu merasakan kehadiran Rabb dimana-mana. Apapun yang diinderanya tampak wajah Rabb. Bahkan ketika ia menutup mata, ia menemukan dirinya mengandung berjuta tanda Rabb itu. Terbayangkan rasa gemetarnya yang luar biasa itu, sampai periwayat kisahnya menyatakan ia, lelaki mulia, itu harus diselimuti berlapis-lapis. Mungkin ia menggigil, namun bukan karena dingin cuaca. Ia menggigil ketika menyadari keterbukaan yang membuatnya menemukan Rabb dimana-mana.
Ya!
Pada mulanya adalah perintah membaca. Lalu lelaki mulia itu bertahun-tahun setelah itu, sampai akhir hayatnya, menerima sapaan Rabb, juga perintah, ancaman, hiburan, janji, dan jaminan kehidupan penuh keselamatan dan kesejahteraan.
Bagaimana dengan kita?
Kita kerap menafikan tanda, membiarkannya sebagai tampilan visis semata.Realitas yang dijanjikan Allah selalu sebagai ayat-ayat kerap kita abaikan, kita anggap sebagai sesuatu yang biasa saja. Bukan pesan ilahiah, apalagi teguran. Rumi pernah menuliskan puisi tentang pengalamannya bertemu dengan orang gila yang tersenyum padanya. Kenapa orang gila itu tersenyum padanya? Adakah ia sedang meremehkan perasaan waras yang diyakininya atau ia seorang waras yang sedang akan menertawakan ketakwarasan? Begitu hal terkecil menjadi tanda, kehidupan ini menjadi rangkaian teka-teki, pertanyaan, atau enigma, yang menuntut pencarian jawaban, yang disebut kebenaran (truth).
Untuk sampai pada jawaban kebenaran itu tak bisa dengan berdiam menunggu kiriman jawaban dari pihak lain. Tentu ada sumber kebenaran yang dapat dipercaya, taruh kata ia adalah sumber itu yang pasti terpercaya, namun ia hanya dapat menjadi jawaban atas apa yang kita anggap sebagai masalah pribadi. (Tapi benarkah penyimpulan bahwa gejala diri yang tengah berlangsung itu adalah masalah?)
Untuk itu dibutuhkan penyelidikan (secara sederhana maupun kompleks). Kita perlu melakukan kegiatan mencari petunjuk, menemukan bukti, menelusuri tanda-tanda (sign), serta melihat logika, mencermati relasi dan kausalitas di antara semuanya, sehingga sampai pada sebuah kesimpulan akhir (inference).
Adakalanya petunjuk, bukti dan tanda-tanda yang kita terima membentuk rangkaian yang berpola teratur (order). Tanda itu secara jelas menunjukkan kesalingterkaitan antar unsur-unsur penyusunnya, dengan tegas juga menunjukkan kesatuan konsep berdasarkan desain tertentu. Terhadap tanda jenis ini, kita dapat memahami makna atau logika di baliknya dengan mudah. Artinya, ada tingkat keterdugaan atau redudance yang tinggi, yang dapat mengarahkan pembacaan (reading) menjadi lebih jelas, terang, transparan dan eksplisit.
Akan tetapi, seringkali kita menemukan petunjuk, bukti dan tanda-tanda sebagai rangkaian yang tidak berpola, terputus (discontinous) dan tidak beraturan, yang unsur-unsurnya tidak saling berkaitan satu sama lainnya, dan yang tidak terbentuk berdasarkan sebuah desain atau rencana tertentu, yang di dalamnya hanya ada ketidakberaturan, turbulensi, entropy dan chaos. Di hadapan pada tanda sejenis ini proses pembacaaan akan dipenuhi oleh kekaburan, kegelapan, ambiguitas, keraguan, tanda tanya dan enigma.
Tanda yang kita temukan dalam kehidupan selalu bersembunyi di balik penampakannya. Ia seperti bunglon, bersatu dengan apa yang bukan dirinya, hingga mata kita keliru sampai menilainya sebagai tak ada.
Bacalah!
Ya, saya akan belajar membaca!
Penulis: Rizki Mohammad Kalimi, ia lahir di Pandeglang, 31 Mei 1998. Rizki merupakan alumni Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Saat ini tinggal di Pondok Pesantren Al-Musyahadah "RCI"