Sehimpun Sajak Bambang Q-Anees: Laut

 


Sampai Ke Titik Ini

 

Sampai ke titik ini aku masih juga bertanya, "Apakah malam masih panjang? Kunyalakan lampu kenangan laron-laron masa lalu menyerbu ---perempuan... ah kenapa selalu perempuan? kegombalan, rencana yang tertunda, sejarah menderu, cinta, dan kangen yang melapuk--- menabrakkan diri, memburu cahaya lampau sampai titik ini aku masih saja bertanya "Kenapa hidup harus bahagia?"

 

Laut

 

Masih terasa getar dari bau tanah,
langit dan amis laut yang membuka diri
dan daratan yang diam tak disapa

Apa yang kau bebaskan, Hanoman?

Waktu telah menindas jarak,
Menghembuskan matahari sampai ujung-ujung darah
Membiarkan laut seperti sedia kala: batas yang jauh,
Dan badai yang setia.

Kau tak bisa memainkan lakon banal para tentara,
Mereka memang diciptakan untuk durhaka pada diri
Karena apa yang dibebaskan tak pernah membebaskan.
Sebuah pulau atau negeri barangkali mereka taklukkan,
Sekawanan begal atau pendusta mungkin mereka bungkam,
Tetapi kulit yang rapuh, rambut yang menua mengejar-ngejar
Mimpi-mimpi malamnya.
Senapang tak bisa memotong waktu,
Dan mereka mati dalam sekelebat.

Lautan tak memberimu jarak, hanya buih lalu
gelombang dan ubur-ubur.
Di luar matahari, segala gerak
bukanlah gejala yang bergairah

Maka biarkan
Kehangatan langit yang menembus
pori-pori masa lalumu.
Memurnikan ingatanmu pada ibu, pada matahari
Yang kau kunyah.

"Tetapi wanita malang harus dibebaskan," katamu.
Ia, juga kamu, rupanya tak tahu bahwa Sitta
telah lama menemukan waktu dalam api.

Masih terasa getar dari bau tanah,
langit dan amis laut yang membuka diri
dan daratan yang terbakar tak disapa.

 

Bandung, 1999.

 

Rendezvous

 

Ayo, kenakan sepatumu, jalanan menyiapkan debu dan kelu. Jangan kau hiraukan rambu-rambu, bunga-bunga di sisi jalan menembus Ruang yang pernah dilalui Adam. Tetapi jangan masuki daratan itu! Peta rahasianya pasti asing dan gagu menjawab lengking kereta, Dan tiang listrik yang bertumbuhan tanpa henti. Kau akan tersesat Pada daun-daun yang hanya kau temukan di buku museum tua. Ayo, kenakan ranselmu. Manuskrip-manuskrip baru mencari wadah Dari kelebat langkahmu. Masuklah ke dalamnya, ada banyak tangga Yang menyeretmu pada banyak cahaya. Jangan tutup matamu, tak perlu silau. Karena bukan cahaya yang kau cari. Tetapi aku.

Akulah yang kau lihat dalam tidurmu: berlarian atau terbang atau Tertawa tanpa suara, sesuatu yang lama kau idamkan tapi lupa kau sapa. Akulah yang suatu malam membangunkanmu dengan suara seruling Yang membuatmu teringat pada janji yang kau tinggalkan di bawah Pohong ketapang. Maka masuki lenganmu, jari kakimu, dan badanmu, Lepas dari kepala. Masuki sebuah ruang tua berdebu buku, Hancurkan ia! Sampai batas tersamar yang bisa kau baca. Kau akan memetik mawar yang merekahkan nama di luar kata Di luar kesunyian sajak-sajakmu.
 

Bandung, 2000

 

Tasikmalaya Dalam Biografi Singkat

 

1997

Dalam biografi tanah

Diceritakan kisah lempeng bata merah

Yang terpecah-pecah menjadi sketsa tak berfigura.

Aku serasa terbang bersama burung empitmu, kemudian menari

Di awan gemawan lalu hinggap diujung doran para petani.

Sama sepertimu, aku tidak menyukai pesta Bang. Pesta

Hanya cukup sekali saja. Bunyian kendang dan terompet biar saja pencak

Sendiri

 

1978

Bersama lengking adzan, aku mengenal cahaya. Guguran daun jambu sempat

Menggetarkan samping kebat yang bau anyir darah ibu.

Lalu iqamat, membawa bapak bersujud pada sejadah lusuh. “Barakallah!”, katanya. 

Namun, tak sempat aku dimandikan oleh lempeng bata merah itu, juga membuat benteng berdinding lempung. Atau mengembalakan tangan ke setiap hutan-hutan.

 

2011

Jika kau datang ke kotaku hari ini. Ramalan itu benar. Aku terjepit oleh batuan Galunggung yang menjadi masjid-masjid, sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, gedung pemerintah, mini market-mini market, gedung kesenian bahkan kolam-kolam pancing. Bulldozer-buldozer yang gemuruh selalu memangkas rambut gunung dan pasir. Di kotaku udara semakin asin. Sengatan panas dari pembakaran gagang-gagang padi. Lelehan bebukitan. Suara gaduh truk pencuri pasir. Serta hawa mulut yang memancarkan api.

Jika kau datang ke kotaku hari ini. Di gigir senja yang semakin semu. Aku merasa saat terakhir itu terjadi, kini!

 

2011

 

Biografi Penulis

 

Prof. Bambang Qomaruzzaman Anees, M.Ag. Ia seorang filososf, teolog, dosen, serta penulis. Sejauh ini banyak buku filsafat dan teologi yang sudah ditulis dan diterbitkan. Selain itu, ada juga buku genre lain, seperti “Kitab Maulana” yang merupakan kumpulan cerpen reflektif.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama